PANTASKAH SEBUAH “KRITIK”
“He has a right to criticize, who
has a heart to help.”
―Abraham Lincoln
(AP Photo/Disney-ABC) |
Bayangkan
ketika kamu mengerjakan sesuatu, mungkin membuat film dan itu film pertamamu.
Tiba-tiba ada seorang teman yang melihat dan berkomentar “film ini terlalu
bertele-tele, seharusnya dibuat to the point, dan tokoh dalam film tidak dibuat
berkembang dalam narasi”. Komentar tersebut melukai kehormatan kita dan kalau
tidak ditanggapi dengan profesional akan terus mengusik hari-hari kita. Pikiran
akan berusaha melakukan defence dan berkata “memang kamu bisa buat yang lebih
baik, sok tahu kamu buat film aja belum pernah”. Pikiran seperti itu
mengandaikan dan menuntut bahwa yang mengkritik haruslah orang yang sempurna.
Ok, apakah ada
manusia yang sempurna? Kritikus film apakah dia juga harus membuat sebuah film
yang sempurna baru dapat mengkritik. Apakah harus menjadi filsuf yang sempurna
dulu, baru bisa mengkritik pemikiran orang lain? Bahkan dalam tradisi filsafat
analitik yang berkembang di Inggris ada dua fdilsuf yang menjadi kiblat dari
pemikiran ini. George Moore dan Bertrand Russell, gaya berpikir mereka sama-sama analitik tetapi
berangkat dari standing position berbeda. Moore mungkin yang paling kuat dalam
mengkritik filsuf-filsuf lain dalam menjelaskan filsafatnya. Sedangkan Russell
membangun kerangka teori terlebih dahulu, runut dan sistematis, barulah
kelihatan apa yang ingin disampaikannya. Moore pun akhirnya dinobatkan sebagai
filsuf setelah merombak habis-habisan idealisme dalam kepala akademisi Inggris
saat itu. Mungkin Inggris tidak akan bisa berbangga diri dengan filsafat
analitik mereka seandainya menolak kritik. Artinya kalo kita berpikir harus
yang sempurna yang bisa mengkritik, hal itu sama saja dengan mengatakan tidak ada
yang boleh mengkritik.
Bagi pecinta
film mungkin nama kritikus film hebat Amerika Roger Joseph Ebert, sudah tak
asing lagi. Pada saat kematiannya di 2013 Presiden Barrack Obama berkata “Roger
was the movies, the movies wont be the same without Roger”. Salah satu
sutradara hebat Steven Spielberg menyebut Ebert “reviews went far deeper than
simply thumbs up or thumbs down. He wrote with passion through a real knowledge
of film and film history, and in doing so, helped many movies find their
audiences… he put television criticism on the map.“ Luar biasakan betapa dihargainya
seorang kritikus.
Seandainya
pikiran kita dipertahankan bahwa tidak boleh ada yang mengkritik. Akan jadi
apakah Roger Joseph Ebert? Dan mungkin kemajuan film Amerika tidak akan
dirasakan sekarang ini. Setiap kritik yang disampaikan Roger Joseph Ebert
itulah membuat para sutradara terpacu menghasilkan film yang berkualitas. Sehingga
dapat dikatakan kritik itu membuat seseorang belajar menjadi yang lebih baik,
dengan mendapat penilaian dari orang lain berarti, dapat melihat kekurangan
yang ada pada karya yang dimilikinya.
Kritik itu baiknya bukan karena alasan suka atau tidak suka pada karya tertentu. Tetapi ada tolak ukur yang dijadikan ajuan yang dikatan baik atau buruk dalam bidang tertentu. sehingga kritik apapun itu dapat diterima orang lain, sebagai bentuk usaha kemajuan diri. Tetapi perlu diingat pernyataan yang meluncur dari mulut seseorang tidak semuanya kritik, ada juga orang yang biasanya mencela, memang hanya mau menjatuhkan seseorang. pernyataan seperti "Ah! film ini seperti t*i, gak penting. Harusnya kamu tidak usah membuat film, mending kelaut aja kalo gak bisa". Orang-orang seperti ini mungkin saja ada dendam pribadi dengan anda. Jangan dipedulikan. |Zulkifli Safri|
Komentar
Posting Komentar