DIMULAI DARI DIRI BUDAYAKAN LITERASI
Sumber: insightdesign |
Slogan
‘Buku adalah Jendela Dunia’ sudah tidak asing ditelinga, bahkan terpampang
jelas dalam media visual. Kata-kata ini menjadi pesan penting bahwa bersentuhan
dengan buku, berarti bercengkrama dengan ide-ide cemerlang dari segala penjuru
dunia, dan menemukan tiap makna didalamnya. Sebenarnya membaca tidak berkutat
pada buku saja, selama sesuatu itu berbentuk teks maka punya hak untuk dibaca.
Apalagi dengan kehadiran internet cukup mendowload buku dalam bentuk file pdf,
begitu pula jurnal atau mengakses berbagai website. Website seperti https://hurufkecil.wordpress.com cukup bagus dijadikan referensi bacaan. Isinya
kumpulan catatan kecil dan puisi-puisi M.
Aan Mansur (penyair kelahiran Bone). Namanya
melambung melalui buku puisi “Tidak Ada New York Hari Ini” karena
terpilih mengisi scene-scene romantis film AADC2. Tetapi
sepertinya kemudahan ini tidak dimanfaatkan dengan baik. Jurnal, buku-buku
(maupun dalam bentuk pdf) atau website yang menyediakan bacaan menarik, seperti
angin lalu. Karena ternyata peringkat literasi Indonesia yang dikeluarkan World's Most Literate Nations, disusun
oleh Central Connecticut State University
tahun 2016, menempatkan Indonesia pada urutan kedua dari bawah dari 61 negara.
Mengukur
literasi masyarakat tidak perlu pusing dengan rumus matematis, menghitung
jumlah buku beredar, jumlah buku yang terjual atau jumlah siswa yang membaca
buku. Melihat pengunjung
diperpustakaan, juga
melihat pengunjung toko buku yang berdesak-desakan memadati toko buku, dirasa cukup mewakili. Hal
seperti ini sulit ditemui
di Kota Palopo. Sesekali cobalah berziarah ke toko buku, teks-teks sastrawan
dan akademisi kita menunggu untuk dibaca. Mengutip pesan Tan Malaka dalam
Madilog “Selama toko buku ada, selama itu pustaka bisa dibentuk kembali. Kalau
perlu dan memang perlu, pakaian dan makanan dikurangi”. Toh kalau makanan
dikurangi tidak langsung membuat siapapun tergolek lemas diujung jalan. Selain
itu dukungan infrastruktur sudah ada, diantaranya, Perpustakaan Umum dan Taman
Baca. Tetapi belum cukup mendorong peningkatan literasi masyarakat. Dua tempat
ini betul-betul sepi. Taman Baca lebih sering diisi kegiatan yang tidak ada
hubungannya dengan literasi. Pengunjung perpustakaan pun tidak mengalami
peningkatan secara signifikan. Kalau terus seperti ini, sulit mencapai
masyarakat yang memiliki budaya baca tinggi. Padahal Perpustakaan Umum
tergolong bagus dengan fasilitas dan bahan bacaan yang memadai.
Toko
buku bertahan agar tetap buka, Perpustakaan Daerah telah menyediakan koleksi
buku menarik, ditambah Taman Baca yang menawarkan suasana nyaman. Terus masih
sepi! memilih untuk memaki-maki pemerintah dan mengutuki keadaan, hanya akan
menghabiskan energi. Langkah awal yang perlu dilakukan adalah memulai dari diri
sendiri. Bersediakah tiap pribadi mengubah diri dan kebiasaan. Berangkat dari
asumsi Albert Bandura psikolog behavioralistik asal Amerika. Menurutnya
lingkungan memang membentuk perilaku, namun perilaku juga membentuk lingkungan.
Bandura menyebut konsep ini determinisme
resiprokal. Lingkungan tidak dominan, pribadi seseorang dapat menarik diri
dari kebiasaan lingkungan. Pribadi ini harus mengambil jarak terlebih dulu.
Menarik diri yang dimaksud adalah mengubah kebiasaan yang ditimbulkan lingkungan --
lingkungan disini lebih pada orang-orangnya, bukan hanya infrastruktur-- dan memang mengubah kebiasaan itu agak sulit.
Kalau
membaca belum menjadi kebutuhan, baiknya motivasi dan memaksa diri adalah hal
yang patut dilakukan. Membaca memerlukan konsistensi, misalnya hari ini membaca
satu halaman perhari usahakan berjalan secara kontinu agar menjadi kebiasaan.
Setelah program satu hari satu halaman dirasa berhasil, tingkatkan lagi dalam
sehari meluangkan waktu 30 menit membaca buku dan harus rampung. Jangan membaca
sehari satu halaman tapi dihari berikutnya tidak lagi dengan alasan “Hari ini
malas membaca. Yah sudah besok saya baca dua halaman sekaligus” itu membuat
repot dan jadi alasan untuk bermalas-malasan. Kalau telah memulai dan tetap istiqomah lalu menjadi
kebiasaan, yakin saja orang lain akan meniru. Manusia memiliki kemampuan untuk
mengimitasi (meniru) dan ini bersifat alamiah. Manusia lebih mudah mengimitasi
perilaku seseorang. Misalnya, Remaja sering bentrok salah satunya mengimitasi
perilaku dalam film-film kekerasan seperti Crows
Zero. Budaya literasi tidak diturunkan melalui gen secara biologis, seperti
pendapat para penganut sosiobiologi yang digawangi oleh Edward O. Wilson
(pencetus kajian sosiobiologi). Sedikit menyetir pendapat Charles Dawkins.
Ilmuwan yang merevisi teori evolusi diranah biologis ke budaya. Bahwa hal ini
dapat terjadi hanya melalui pembelajaran budaya atau imitasi, karena evolusi
manusia berlanjut pada taraf evolusi budaya.
Moh.
Hatta, “The Founding Fathers”
merupakan role model yang menjadikan
buku bagian yang tak terpisahkan dalam hidupnya. Mungkin masih ingat adegan
film “Edensor” tokohnya mengutip pesan Moh. Hatta “Aku rela dipenjara asalkan
bersama buku, karena dengan buku aku bebas”. Pesan itu dapat ditelusuri melalui
Goenawan Mohammad dalam buku “Tokoh +
Pokok” yang mengenang Moh. Hatta dan Sjahrir di pengasingan. Menurutnya
saat sebuah pesawat MLD Catalina menjemput keduanya. Moh. Hatta mengepak
bukunya kedalam enam belas kotak besar, sementara Sjahrir membawa tiga anak
angkatnya. Masalahnya ruang Catalina terbatas tidak mungkin memuat semuanya,
Moh. Hatta dan Sjahrir harus memilih, enam belas kotak buku atau ketiga anak
angkat Sjahrir. Moh. Hatta mengalah enam belas kotak buku ditinggalkan. Empat
puluh tahun kemudian Hatta masih menyesali kehilangan itu.
Pada
akhirnya dapat disimpulkan, sebelum mengajak orang lain menghidupkan literasi
dalam dirinya, lakukan itu pada diri sendiri. Kalau perubahan tersebut tak
kunjung dilakukan, tak usah berharap, membayangkannya pun agak sulit, bahwa
budaya literasi terbentuk pada generasi mendatang. Albert Bandura dengan proses modeling-nya dalam psikologi mengatakan
bahwa manusia tidak melakukan apapun yang dilihat kalau tidak ada dorongan atau
motivasi dalam dirinya untuk meniru, dalam artian belum punya alasan-alasan
tertentu untuk melakukannya. Sudah cukup rasanya kecerdasan dan kebesaran nama
yang dimiliki oleh Moh. Hatta yang mencintai buku sebagai dorongan dan
motivasi. Terlalu mengandalkan “kata-kata perintah” dalam membudayakan literasi
hanya akan membuat kecewa, kata-kata rasanya seperti sari manis di es lilin
saja, melekatnya sebentar saja dilidah. Kata-kata hanya akan berkesan kalau
diikuti dengan tindakan. |Zulkifli Safri|
Komentar
Posting Komentar