Ada Apa Dengan Sastra?

“Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian hanya hewan yang pandai…” Pramoedya Ananta Toer | Bumi Manusia.

     

      Mungkin judulnya hanya akan mengingatkan kita film AADC (Ada Apa Dengan Cinta) dibintangi aktor tampan Nickolas Saputra (Rangga). Ceritanya seputar rumitnya hubungan cinta anak SMA yang berujung tanda tanya. Tetapi kita lewatkan dulu AADC biarkan Dian Sastrowardoyo (Cinta) menanti rindunya dalam satu purnama.
      Sebegitu pentingkah sastra sampai Pramoedya menyebut sarjana-sarjana yang tak “mencintai” sastra hanya “hewan” pandai. Saya akan menjawab “iya”. Sarjana-sarjana di universitas menjadi kaku setelah mendapat ilmu-ilmu untuk meramalkan masa depan. Ilmu-ilmu yang mengedepankan logika, melatih pikiran untuk memecahkan masalah tertentu dan harus mengakui satu teori tertentu. Di dalam kelas-kelas sastra, sastra disertai komentar-komentar para akademis. Proyektor menyala lalu muncul slide-slide powerpoint, tapi saking banyaknya teori malah jadi powerfull, akademisi pun kadang tidak bisa menunjukkan point pentingnya yang mana. Jadi hanya ada deretan defenisi entah dicomot dari buku mana atau website mana yang masih dipertanyakan keabsahanya. Para pengajar sekelebat saja menjelaskan sastra. Sisi-sisi lain dari sastra itu jarang sekali diselami lebih dalam. Deretan-deretan angka petunjuk lahir dan matinya sang sastrawan paling banyak diulas.
      Saya tidak ingin mengatakan itu tidak penting. Tidak. Itu adalah pengantar, tetapi terlalu banyak pengantar malah membuat kita lupa akan isi. Kemudian, bobot dari sisi nilainya diliputi pertanyaan formalitas saja. Apakah tema novel ini? Siapakah yang menjadi pemeran antagonis dalam novel ini?. Jarang kita temui mengangkat pertanyaan yang dikaitkan keadaan yang faktual. Setidaknya ketika hal ini dilakukan akan memberi pemahaman terhadap realitas. Pengkajian model laboratorium yang mengambil jarak antara profesor berjas putih dan tikus dimeja, paling sering dialamatkan pula pada sastra ketika dikaji. Hubungan kebendaan yang terbangun. Tikus yah tikus buat percobaan. Sastra yah sastra cuma didalam kelas. Sastra menjadi teori A cocoknya dipasangkan dengan novel B, mirip sekali dengan kawin silang Gregor Johann Mendel. Pertanyaannya pernahkah anda meletakkan nilai-nilai kemanusiaan ketika mecocokkan teori A ke Novel B? Atau dalam pikiran anda hanya mengikuti kaidah penulisan dan teori sekiranya cocok yah sudah. Sastra tidak menginginkan itu.
      Hal tersebut sangat berbeda dengan sastra yang kalau kata Mangunwijaya "sastra itu dikomunikasikan melalui bahasa lambang dan persentuhan cita rasa". Ingat! Cita Rasa berkumpulnya disekitaran dada bukan dalam kepala. Sastra menyentuh wilayah kemanusiaan kita. Ranah kemanusiaan yang dimaksud adalah sisi baik dan buruk yang menekankan pada perilaku manusia dalam bertindak. Tidak sepenuhnya apa yang dilakukan oleh manusia itu, berdasarkan atas daya pikiran benar atau salah yang lebih dekat dengan proses berpikir logis. Misalnya seperti ini ilmuwan ekonomi akan berkata “saya ingin meningkatkan produksi dengan karyawan berjumlah 4 orang. Saya akan menambah jam kerja mereka menjadi 15 jam sehari, jam kerja mulai pukul 08:00-23:00. Tanpa menaikkan upah karyawan” memberi saran kepada seorang pengusaha. Akhirnya semua karyawan sepakat menerima karena merupakan mata pencaharian utama mereka. Olah pikir yang luar biasa. 
      Lalu bagaimana sastra mengungkap sesuatu kepada kita mengenai masalah tersebut. Sastra akan berkata “sudah dua hari ini, Marsinah duduk merenung. Pikirannya melayang jauh hingga kedalam ruang yang belum pernah dicapainya. Marsinah sakit-sakitan diterpa angin malam hingga ke tulang rusuk. Berangkat pagi dengan aroma parfum yang melekat ditubuhnya. Pulang saat matahari mewakilkan cahaya pada bulan. Dirumah anaknya menagih janji “Ibu sudah dua bulan Toni  belum bayar uang sekolah”. Pekerjaanya berat separuh hidupnya habis didepan mesin yang tak kenal kasihan. Dia merasa kalo bekerja tidak membuat siapa-siapa jadi kaya. 20 tahun bekerja nasibnya begitu-begitu saja. Marsinah menarik sarungnya hingga leher agar tubuhnya tetap hangat.
      Dari Marsinah muncullah vitalitas dalam hidup kita. Penindasan dan kesewenang-wenangan kata Iwan Fals memang harus dilawan. Masalah kemanusiaan berada pada hirarkhi paling tinggi. Pabrik-pabrik memproduksi barang diluar batas kebutuhan manusia. keinginan gila manusia untuk memiliki tidak terbendung dikuasai oleh orang yang memiliki modal. Dilindungi pula dengan sistem yang mengatur sedemikian rupa keuntungan dan penindasan. Kapan ini semua berakhir? Mungkin ketika kehidupan di bumi berakhir pula oleh manusia sendiri. Bukankah kehidupan cuma sandiwara bermain-main, hebatnya sandiwara di dunia peran itu tidak pernah dibagikan tapi dipilih sendiri oleh manusia. sehingga sutradara “kalo ada” akan mempertanyakan pendalam karakter yang kita pilih. Gagal mendalaminya berarti hukuman buat kita, diluar panggung dunia. Panggung dunia yang entah kapan kita akan temukan.
      Akhirnya, seperti seorang kawan yang bertanya pada saya “Ada Apa?”. “Pinjami saya duit saya belum makan”. Begitu pula dengan sastra “Ada Apa?”. “Pinjamkan saya kemanusian, dihatiku sudah kering”. Sastra menyentuh kejadian-kejadian manusiawi yang lebih luas, bukan angka diatas kertas bukan cocok-cocokan teori, yang harus dicapai dengan merelakan kemanusian kita. Rangga akan berkata “salah satu diantara kita itu pasti lebih punya hati atau otak, tapi kayaknya kamu gak punya dua-duanya deh…”. |Zulkifli Safri|

Komentar

Postingan Populer