Seribu Satu Malam & Seribu Satu Cerita, Abu Nawas!

“Dosaku Memang Besar, namun sekarang aku tahu, wahai Tuhan, Bahwa ampunan-Mu bahkan jauh lebih besar lagi” –Abu Nawas-

    

     Setiap kali mendengar kisah “Seribu Satu Malam” nama yang pertama kali terbersit di pikiran kita adalah Abu Nawas. Tokoh dalam cerita “Seribu Satu Malam”, hidup dimasa pemerintahan dinasti Abbasiyah yang di pimpin oleh khalifah “Harun Ar-Rasyid. Begitu hebatnya kisah tentang dirinya menjadikan Abu Nawas sebagai icon “manusia cerdik” dan kisah yang melekat padanya dianggap dongeng. Masyarakat sekitar tempat tinggal saya menghubungkan nama Abu Nawas dengan orang berkelakar besar tanpa ada bukti.
     Mungkin teman-teman memikirkan hal serupa dengan saya. Benarkah Abu Nawas itu “manusia cerdik” dan paling penting apakah memang Abu Nawas real? Untuk membuktikan hal tersebut ada baiknya menyadur satu cerita dari kisah “Seribu Satu Malam”. Walaupun hasilnya mungkin jauh dari dikatakan ilmiah. Setidaknya memberikan teman-teman sedikit kepercayaan akan keberadaan dan kecerdikan Abu Nawas. Disini saya memilih penggalan cerita yang berjudul “Abu Nawas: Hadiah Bagi Tebakan Jitu”.
     Dikisahkan Sang Raja bingung oleh dua pertanyaan tentang rahasia alam. Sehingga meminta pendapat Abu Nawas.
     “Bolehkah hamba mengetahui kedua teka-teki itu wahai Paduka junjungan  hamba. Kata Abu Nawas penasaran”
     “Yang pertama, di manakah sebenarnya batas jagat raya ciptaan Tuhan kita?” tanya Baginda.
     “Di dalam pikiran, wahai Paduka yang mulia.” jawab Abu Nawas tanpa sedikitpun perasaan ragu, “Tuanku yang mulia,” lanjut Abu Nawas ‘ketidakterbatasan itu ada karena adanya keterbatasan. Dan keterbatasan itu ditanamkan oleh Tuhan di dalam otak manusia. Dari itu manusia tidak akan pernah tahu di mana batas jagat raya ini. Sesuatu yang terbatas tentu tak akan mampu mengukur sesuatu yang tidak terbatas.”
     Baginda mulai tersenyum karena merasa puas mendengar penjelasan Abu  Nawas yang masuk akal. Kemudian Baginda melanjutkan teka-teki yang kedua.
     “Wahai Abu Nawas, manakah yang lebih banyak jumlahnya : bintang-bintang di langit ataukah ikan-ikan di laut?”
     “Ikan-ikan di laut.” jawab Abu Nawas dengan tangkas.
     “Bagaimana kau bisa langsung memutuskan begitu. Apakah engkau pernah menghitung jumlah mereka?” tanya Baginda heran.
     “Paduka yang mulia, bukankah kita semua tahu bahwa ikan-ikan itu setiap hari ditangkapi dalam jumlah besar, namun begitu jumlah mereka tetap banyak seolah-olah tidak pernah berkurang karena saking banyaknya. Sementara bintang-bintang itu tidak pernah rontok, jumlah mereka juga banyak.” jawab Abu Nawas meyakinkan.
     Lihat tulisan yang telah saya miringkan. Abu Nawas berusaha menjelaskan pertanyaan Raja melakukan pendekatan agama. “(1) Bahwasanya manusia itu terbatas sedangkan Sang pencipta tidak terbatas”. Ada hal yang tidak bisa dicapai oleh pikiran manusia. Mungkin ada benarnya pula bahwa antara manusia dan realitas dibatasi oleh pikiran.
     Kemudian jawaban Abu Nawas yang kedua. “(2) Paduka yang mulia, bukankah kita semua tahu bahwa ikan-ikan itu setiap hari ditangkapi dalam jumlah besar, namun begitu jumlah mereka tetap banyak seolah-olah tidak pernah berkurang karena saking banyaknya. Sementara bintang-bintang itu tidak pernah rontok, jumlah mereka juga banyak”. Disini Abu Nawas tidak sepenuhnya menggunakan indera penglihatannya untuk mengambil kesimpulan. Abu Nawas coba menganalisis dua hal yang berbeda antara bintang di langit dan ikan dilaut. Abu Nawas paham bahwa ikan merupakan makhluk hidup yang berkembang biak. Sedangkan bintang-bintang benda tak hidup. Bintang boleh saja bertambah jumlahnya, jika bintang tersebut baru ditemukan manusia dan dimasukkan kedalam daftar bintang baru.
     Pertanyaan paling penting apakah Abu Nawas memang real? Bisa jadi Abu Nawas cuma tokoh fiktif seperti Harry Potter-nya J.K Rowling. Kita kembali mengambil potongan cerita dari kisah “Seribu Satu Malam”.
     “Persiapan-persiapan di halaman istana sudah dimulai. Baginda Raja menginginkan perjamuan nantinya meriah karena Baginda juga mengundang raja-raja dari negeri sahabat”.
     “Ketika hari yang dijanjikan tiba, semua tamu sudah datang kecuali Abu Nawas”. Dalam cerita “Abu Nawas Berani Bertaruh”.
     “Pada suatu hari Khalifah Harun Ar-Rasyid menyuruh pengawal kerajaan memanggil Abu Nawas. Ia pun datang menghadap baginda. Sebab pikir baginda, Abu Nawas sangat cerdik, jadi hendak diujinya. Maka Abu Nawas pun datang, lalu menyembah”.
     Selanjutnya semua orang yang duduk pada majelis raja itu pun berkata sama sendirinya, “ Sekali ini matilah Abu Nawas dibunuh oleh Sultan Harun Ar-Rasyid” Dalam cerita “Enam Ekor Lembu Yang Pandai Berkata-Kata”.
     Kutipan dari kisah “Seribu Satu Malam” diatas menjelaskan kejadian-kejadian kehidupan Abu Nawas yang bersinggungan langsung dengan lingkungan istana. Dari situ pula dapat kita lihat bahwa betapa dekat antara Khalifah Harun Ar-Rasyid dan Abu Nawas.
     Kejadian tersebut akan dikuatkan oleh  karya Benson Bobrick yang berjudul The Caliph’s Spelendor: Islam and the West the Golden Age of Baghdad. Buku ini telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia diterbitkan oleh PT. Pustaka Alvabet, dengan judul Kejayaan Sang Khalifah Harun Ar-Rasyid: Kemajuan Peradaban Dunia Pada Zaman Keemasan Islam. Menurut Bobrick;
“Hubungan Harun dengan Abu Nawas adalah hubungan yang mendua. Disatu sisi, Abu Nawas konon adalah penyair dan kawan makan kesukaan khalifah… di sisi lain, pada saat-saat sedang merasa bersalah atau menyesal sang Khalifah lebih suka menganggap orang-orang lain (seperti Abu Nawas) telah membuatnya sesat”(131:2013).
     Sudah menjadi kebiasaan dalam Istana “Qashrus Salam” (sebutan untuk istana khalifah masa itu) untuk memanggil penyair untuk menghibur raja disaat makan atau raja mengalami gundah gulana. Salah satu penyair hebat masa itu adalah Abu Nawas. Dengan syairnya yang mendayu-dayu tidak bercorak filosofi, tetapi lebih mengedepankan nuansa kegamangan perasaan manusia dirundung cinta.
     Suatu kali menurut Bobrick Abu Nawas pernah dipenjarakan Zubaidah istri khalifah. Dia dipenjara karena menghina syair yang dibacakan oleh Amin (anak yang akan menggantikan Harun Ar-Rasyid). Selama menjalani masa tahanan, barulah khalifah tahu kalau Abu Nawas di penjara. Lalu khalifah membebaskannya. Untuk kedua kalinya Amin mencoba membaca syairnya didepan Abu Nawas. Khalifah senang dengan syair anaknya, tetapi Abu Nawas beranjak pergi. Khalifah bertanya “Mau pergi ke mana dirimu?. “Kembali ke penjara!” teriaknya.
     Abu Nawas adalah manusia yang pernah hidup mengisi hari-harinya di masa-masa kejayaan Islam. Penyair cinta dan segala bentuk gelora hidup yang menyenangkan. Syair-syair Abu Nawas senang dengan kehidupan duniawi yang begitu singkat. Bobrick bercerita bahwa kematian sang penyair tidak diketahui, semasa hidupnya Abu Nawas hanya meninggalkan “dua lusin kertas berisi kumpulan ungkapan langka dan catatan tata bahasa” |Zulkifli Safri|.

“Lipat gandakan dosa-dosamu sepenuhnya. Karena engkau akan menemui Tuhan Yang Maha Pemurah” –Abu Nawas-

Komentar

Postingan Populer