Lupa atau Memang Belum Tahu, Tagore
“Engkau membuatku abadi, itulah kesenangan-Mu”
_Gitanjali
TheIndianExpress |
“Siapa pemikir India yang kalian tahu?” seseorang tiba-tiba bertanya. Di
kepala kalian yang terbersit adalah nama Gandhi, Mahatma Gandhi. Manusia
berkepala botak, badan kurus, dan hanya menggunakan kain mori untuk menutup
tubuhnya. Tetapi tidak usah bertanya kualitas pada dirinya. Ketika ditanya lagi
“apa kalian tahu Rabindranath Tagore?” sebagian besar akan melongo, saling
bertatapan dan akhirnya mengangkat kedua bahu, menggelengkan kepala.
Dua orang tokoh ini sangat berpengaruh di India. Mereka saling memberi
gelar, Gandhi menyebut Tagore The Great
Sentinel dan sebaliknya Tagore menyebut Gandhi Mahatma in a peasant’s garb. Tagore lahir di Joransko Kalkutta, 6 Mei 1861,
umurnya tidak beda jauh dari Gandhiji dan bersahabat. Orang-orang India
menggambarkan mereka sebagai manusia adiunggul atau manusia setengah dewa.
Jenis manusia yang memberi dampak kebaikan yang begitu luar biasa bagi India
dan dunia.
Berbeda dari Gandhi yang terkenal dengan gerakan Satyagraha, Tagore
lebih dikenal dunia dengan karyanya Gitanjali. Sebuah karya yang memberikannya
penghargaan Nobel dibidang sastra dan menjadi sastrawan pertama Asia yang
meraih penghargaan prestigious
tersebut, 14 November 1913. Tagore seorang peramu syair, seorang ‘manusia
universal’. Namanya begitu agung dikalangan sastrawan dunia. Seringkali nama
Tagore disandingkan dengan nama Goethe, Shakespear dan Voltaire.
Seorang peraih nobel asal Islandia, Halldor Laxness menggambarkan
Gitanjali karya Tagore sebagai “Suara asing sayup dan lembut… Bentuk dan cita
rasa Gitanjali memberikan dampak seolah kami melihat sekuntum bunga ajaib yang
belum pernah kami lihat sebelumnya”. Orang-orang di Barat melihat keindahan
yang mengalir, memenuhi perasaan mereka tiap kali membaca Gitanjali.
Kehidupan dalam Gitanjali adalah sebuah perjalanan spiritual menuju
persembahan total. Tagore berkata dalam Gitanjali “perahu harus aku
luncurkan….Tidakkah kau merasa bergetar ketika melewati udara bersama nada-nada
lagu mengalun jauh dari pantai yang lain”. Gitanjali lalu berakhir pada
“perjalanan jiwa menuju rumah abadinya”. Tagore pun menuju 'rumah abadinya' 7
Agustus 1941. |Zulkifli Safri|
Komentar
Posting Komentar