Abrakadabra, Jadilah maka Jadilah!
"Tidak ada kalimat yang sempurna. Sama seperti tidak ada keputusasaan yang sempurna".
Yah! Seperti itulah Haruki Murakami menyilaukan kita dengan sebuah
kalimat yang memikat dalam "Dengarlah
Nyanyian Angin". Kalimat tersebut berbicara kepada kita dengan begitu
yakin, bahwa karya ini patut di baca. Kalimat-kalimat pembuka seperti itu
membawa pembaca masuk kedalam dunia yang sama sekali baru. Dunia yang
diciptakan oleh penulis.
Karya sastra membuat pembacanya
jatuh cinta ketika menyuguhkan kalimat pembuka yang penuh sihir. Kalimat yang akan
menjadi penentu tertariknya seorang pembaca pada karya tersebut. Kalimat pembuka
menjadi kalimat magic, seperti mantra
pemanggil "Accio" dalam
serial Harry Potter. Kalimat pembuka sebenarnya gambaran kecil keseluruhan
cerita. Kita ambil contoh kalimat pembuka cerpen Bocah Lelaki yang Menulis Puisi karya Yukio Mishima berbunyi
"Puisi demi puisi mengalir dengan lancar dari penanya". Bahwa benar
apa yang didapati dalam cerpen ini sepenuhnya cerita tentang anak yang
tergila-gila menulis puisi. Membaca kalimat pembuka membuat kita sudah dapat
menerka-nerka arah cerita dalam karya sastra.
Pengarang sebagai penciptaan dunia
dalam karyanya menjadikan kalimat pembuka berfungsi seperti firman Tuhan Kun Fa Yakun (Jadilah maka Jadilah). Namun pengarang tidak mungkin disamakan dengan Tuhan,
dengan otomatis ciptaan pengarang adalah bagian-bagian dari hidup yang
dialaminya. Frye mengatakan segala sesuatu yang diciptakan oleh pengarang
adalah sesuatu yang tumbuh dan ditransmisikan dari referensi bersama. Referensi
yang di hidupi dalam sebuah masyarakat. Sehingga kemurniaan ciptaan pengarang
bukan sesuatu yang sama sekali baru, tetapi kemurnian yang dimaksud hanyalah
menunjukkan apa yang dibuat berbeda dengan karya yang lain. Tetapi segala
bahannya adalah sesuatu yang terberi dalam dunia yang dirangkai ulang. Menjadi
seorang pengarang berarti melibatkan daya kreatif untuk mencipta. Setiap
"pencipta" membedakan dirinya dengan "pencipta" yang lain
melalui karyanya.
Najib Mahfuz dengan "Lelaki dalam Pasungan" ingin
melukiskan kehidupan kelas menengah di Mesir. "Pukul setengah dua sore
September 1941, saat jam pulang kerja terlihat banyak pegawai keluar dari
gedung-gedung pemerintahan. Sementara diawal-awal perang saudara di Amerika
yang menuntut penghapusan perbudakan Harriet Beecher Stowe berjuang dengan
"Uncle Tom's Cabin" Sang
Budak Hitam. Tuan-tuan bebas memperjualbelikan seseorang dan haknya. Sehingga
di kalimat pembuka Beeceher Stowe proses negosiasi budak, "Pada suatu sore
yang dingin pada bulan Februari, dua pria terhormat duduk berdua sambil
menikmati anggur di ruang makan yang dilengkapi perabotan berkualitas tinggi di
kota P-, di Kentucky. Kedua orang ini ingin bercerita suatu peristiwa yang dalam
masyarakatnya. Ini bukan berarti berlakunya nasionalisme dalam sastra seperti
kata Carlos Fuentes. Hanya sumber-sumbernya saja yang bersifat nasional. Karena
nilai-nilai yang terkandung didalamnya bersifat global.
Najib Mahfuz dan Harriet Beecher
Stowe keduanya membuka karya mereka dengan sebuah mantra yang menarik
perhatian. Bagi Sigmund Freud para pengarang pencipta dunia menggunakan
kreatifitas mereka seperti anak-anak. Pengarang dan anak-anak mengandalkan
imajinasi dan emosi yang meluap-luap. Sekali imajinasi itu diperkenalkan ke
dunia sangat sulit untuk dikekang, hal itu harus dibiarkan berlimpah
menggenangi diri. Emosi yang ada pada pengarang sepenuhnya dituangkan kedalam
kalimat pembuka, dari kalimat pembuka ini pengarang menekankan arah cerita. Semua
itu dilakukan dengan kesungguhan Sehingga pembaca dituntut untuk menjadi
seorang paranormal untuk sementara waktu menerka-nerka apa yang terjadi pada
para tokoh di akhir cerita.
Sekali kalimat pembuka mengetuk
kesadaran kita, kalimat-kalimat itu akan terus menuntut perhatian. Bukankah
para pengarang mencurahkan segala perhatiannya pada kalimat pembuka ini.
Sebelum menulis bukankah diotak kita dulu disusun sebuah kalimat, kemudian
dituliskan terus menerus. Di film-film sering kita lihat aktor yang memerankan seorang
penulis, berulang kali menarik kertas dimesin ketiknya yang tampak kusam. Hanya
demi mendapatkan sebuah kalimat yang dirasa pas menggambarkan gagasan bermakna yang
bertalian dengan dunia. |Zulkifli Safri|
Komentar
Posting Komentar