A Vendetta : Darah Dibayar Dengan Darah
Gandhi
pernah berkata “Jika mata dibayar dengan mata makan dunia akan buta”. Ucapan tersebut
tidak berlaku bagi janda Paolo Saverini. Darah Korsika masih kental mengalir di
tubuhnya. Bagi orang-orang Korsika balas dendam utang darah dibalas dengan
darah (vendetta) adalah keharusan.
Guy
de Maupassant menawarkan cara pandang lain melalui cerpennya berjudul “ A
Vendetta”. Menurutnya balas dendam berlaku pada siapa saja. Amarah tidak
mengenal tua-muda, laki-laki– perempuan, ataupun anak-anak-dewasa. Amarah
membuat dunia menjadi gelap dan penuhi warna merah darah. Guy de Maupassant menghentak
kesadaran kita akan persepsi kelemah lembutan seorang wanita melalui Janda
Paolo Saverini, tokoh utama cerpennya. Janda Paolo Saverini dibuat begitu tegar
setelah anaknya mati di bunuh Nicolas Ravolati. Kesedihannya tidak meledak
melalui air mata, tetapi membentuk Gunung Api yang siap memuntahkan amarahnya. Ia
memilih diam membiarkan dirinya dikuasai rasa sakit yang perlu dibalaskan. “Kemudian,
dengan merentangkan tangan keriputnya ke atas mayat anaknya, ia bersumpah akan
membals dendam”.
Realizado por: Tomás Boersner
Titulo: Una venganza (Vendetta)Fecha: 2012 |
Sangat
manusiawi memang jika kita ingin mengembalikan apa yang direnggut dari hidup
kita. Antoine Saverini pemuda yang
menjadi permata berharga bagi ibunya mati dan menyisakan luka. Menjadikan alasan
kuat ibunya membalas dendam pada Nicolas
Ravolati. Janda Paolo Saverini mengakhiri hidiup Nicolas Ravolati setelah
melatih anjingnya Semmilante menjadi mesin pembunuh yang hebat. Orang-orang
Swedia mungkin akan menggaruk tengkuknya tidak sepakat dengan orang-orang Korsika
yang menumpahkan darah untuk darah. Karena bagi bangsa Skandiv hal itu sama saja melegalkan hukuman mati buat pembunuh dan
tidak pernah berujung pangkal.
Guy
de Maupassant yang impresionis bertutur dalam cerpennya, mengajak pembaca seolah-olah ikut menyaksikan keindahan
kota pelabuhan Sardinia. Kedetilan plot dan alur cerita yang dibuat begitu
rapat membuat kita tidak dibuat menunggu lama untuk merasakan keindahan. Di
awal cerita kita sebenarnya mudah untuk menebak bagaimana Nicolas Ravolati akan
mengakhir hidupnya. Tetapi pikiran seperti itu percuma saja, karena Guy de
Maupassant menawarkan pula ketegangan dalam kalimat-kalimatnya yang akan
percuma jika dilewatkan. Mungkin Guy de Maupasant ingin berkata “Bukankah lebih
penting apa yang di rasakan daripada hanya tahu akhir cerita?”.
Nada-nada
ironis sangat begitu melekat dalam karya-karya Guy de Mauppasant. Keironisan
itu berusaha ditularkan dan membuka mata kita bahwa hidup tak seindah negeri
dongeng. Janda Paolo Saverini tidak mungkin cukup terhibur dengan keberadaan
Tuhan melalui perintah sucinya. Baginya Tuhan cukup tahu bahwa neraka untuk
pembunuh anaknya adalah didunia. | Zulkifli Safri |
Komentar
Posting Komentar