Narsisme Yang Membabibuta
Dalam mitologi
Yunani pernah dikenal seorang pemuda bernama Narcissus. Dia begitu membanggakan
dirinya, terutama ketampanan yang melekat diwajahnya. Karena begitu menggilai
dirinya, Narcissus menganggap siapapun mesti mengetahui bakat ketampanannya. Obsesi
berlebihan Narcissus pada akhirnya berbuah petaka. Narcissus bercermin disebuah
kolam. Dia berkata “betapa tampannya aku”. Narcissus mendekatkan wajahnya ke air,
tangannya berusaha menyentuh wajahnya. Karena tubuhnya terlalu condong ke kolam,
Narcissus tercebur lalu mati didasar kolam.
Cerita ini
menjadi akar dari istilah narsis, pelabelan
untuk orang-orang yang berlebihan mencintai dirinya. Hal itu berasal dari
analogi tokoh Narcissus dengan pasien psikoanalisis Sigmund Freud. Dia pula
menjadi orang pertama yang menggunakan istilah ini dalam ranah psikologi. Narsis pada taraf tertentu memiliki dampak positif
sebagai cara untuk meningkatkan kepercayaan diri. Tetapi narsis kata Mitchell J.J dalam bukunya The Natural Limitation of Youth menjadi ekstrem saat seseorang
mulai memperlihatkan kecenderungan mengharapkan perlakuan khusus, sulit
berempati ke orang lain, tidak mempunyai kontrol moral yang kuat dan kurang
rasional. Jika dahulu mungkin saja menemukan “pelaku narsitik” relatif sulit
karena ruang pergaulan kita yang sebatas sejauh langkah kaki kita berjalan.
Dibanding dengan melihat realitas sekarang, bahwa teknologi informasi memfasilitasi
manusia untuk berinteraksi dengan orang-orang yang bermil-mil jauhnya untuk
saling mengetahui keseharian.
Disinilah kita
sekarang manusia menapakkan kaki di revolusi ketiga (setelah revolusi pertanian
dan revolusi industri), revolusi informasi. Teknologi informasi yang puncaknya
adalah Internet. Seperti cawan dimusim hujan menampung segala sesuatunya tanpa
memfilter baik-buruk yang hadir dipermukaan. Internet menjadi media paling
signifikan, dapat memenuhi kebutuhan berlebih manusia untuk mendapat pengakuan.
Sebab pengakuan adalah hasil yang diharapkan oleh sifat narsis. Kegilaan manusia terhadap pengakuan membuatnya mencari
berbagai cara untuk mendapatkannya. Dengan berbagi foto dengan pose-pose aneh,
makanan, jalan-jalan, hal ini sebenarnya memenuhi salah satu sifat dasar
manusia sebagai homo socialus. Tetapi
menjadi tidak biasa ketika sudah ekstrem, memamerkan kebodohan yang secara
logika dan moril sulit diterima.
Filsuf Blaise Pascal
pernah bilang bahwa “manusia ini tidak
bahagia karena mereka tidak bisa tinggal diam sendirian dikamarnya”. Apa
yang dimaksud diam oleh Pascal adalah membiarkan diri untuk mengenali diri.
Mengerti batasan hal-hal yang perlu untuk diketahui dan tidak diketahui orang
lain. Ucapan Pascal diafirmasi oleh kehadiran media sosial dalam ragam yang
luar biasa. Mari melihat hasil penelitian yang dirilis oleh We are Social dan Hootsuite tentang durasi penggunaan media sosial. Di posisi pertama
negara tetangga kita Filipina dengan durasi 3 jam 57 menit. Di susul Brasil
dengan waktu 3 jam 39 menit. Indonesia menempati posisi ketiga dengan lama
waktu 3 jam 23 menit. Dan dalam penelitian yang sama tercatat orang Indonesia
mengakses internet sekitar 8 jam 51 menit. Manusia merasa tidak cukup
berinterakis dengan orang yang real
hadir dihadapannya. Manusia masih butuh interaksi dengan orang lain, yang
jaraknya lebih jauh dalam ruang. Bahwa memang keberadaan seseorang itu bukan
karena jarak yang dekat yang menentukan, tetapi intensitas kesadaran kita yang
menjadi acuan utama.
Bahwa kehausan
akan pengakuan dari pribadi narsistik memang membutuhkan jumlah orang yang banyak.
Atau dalam fitur media sosial jumlah tayangan, like dan comment ukuran yang
memadai apakah yang anda tawarkan mendapat tempat dari orang-orang dimedia
sosial. Jika iya anda berusaha untuk terus melakukan itu walaupun pada akhirnya
harus menabrak tembok akal sehat anda.
Orang-orang yang
terhubung dengan kita dimedia sosial dapat digambarkan sebagai massa atau
kumpulan. Dan umumnya manusia akan mengikuti anggapan yang diterima oleh
kumpulan sebagai kewajaran. Manusia sering menjaga jarak dari keramaian, tetapi
Menurut Ernest Canetti peraih nobel sastra 1986 ini bahwa secara paradoksal
justru dalam keramaian segala sesuatunya melebur. Menurutnya hanya dalam massa
manusia menjadi bebas dari ketakutan untuk saling mengenal. Sebab didalam massa
“body is pressed to body”. Mengapa bebas untuk saling mengenal? Sebab dalam
keramaian pula manusia dapat memenuhi sikap aslinya, seperti itu pulalah yang
sebagian besar terjadi di media sosial. Canetti menyebut ini sebagai
“metamorfosis” pada ranah kesadaran. Kesadaran merupakan “jembatan” atau
“ruang” yang menghubungkan atau memisahkan antaran ranah tubuh dan perilaku.
Sebab sebagian
besar komunikasi tidak bertatapan langsung. Paling banter chat yang merupakan
bagian dari teks, yang menurut Platon sesuatu yang dapat dipelintir maknanya
dan tidak dapat membela diri secara otonomi dihadapan penyalahgunaannya. Teman-teman
dimedia sosial tidak seluruhnya merupakan orang yang kita kenal dekat dalam
keseharian. Bisa saja orang-orang ini sekedar kita ketahui melalui beberapa
hal: paras atau rupa yang kita idealkan dan cerita-cerita kesehariannya yang
tidak dapat kita kroscek kebenarannya sebab dasarnya manusia mencari yang ideal
yang tidak ditawarkan di balik layar gadget atau monitor.
Narsisme akut
seseorang memunculkan ketergantungan pada “sifat eksternal yang bukan merupakan
bagian dari diri mereka sendiri” (dia pistin graphes exothen hup’ allotrion
tupon). Lalu counter apa yang dapat
dilakukan? Bahwa setiap “keinginan” (erostikon pathos) tidak untuk mempunyai
objek melainkan masih atau imanen untuk perjuangan itu sendiri. Dan ini perlu
diikuti Verhanft “kesadaran” untuk
memahami bahwa “karena jiwa sendiri, berjuang melaluinya untuk dirinya, dan
menuju dirinya.
Ajaran-ajaran
lama tentang keutamaan moral tidak sebegitu pesat berkembangnya teknologi.
Walaupun demikian ajaran-ajaran moral yang disampaikan oleh orang-orang bijak
dari masa lampau masih signifikan dijadikan sebagai frame untuk manusia dalam bertindak menjalani hidup. Salah satunya
ajakan dari filsuf Jerman Edmund Husserl yang mengatakan “Zurruck zu den Sachen
selbst” (kembalilah pada kenyataan itu sendiri). Kenyataan isi kantong yang
hanya cukup makan nasi kuning begadang, bukan di Kafe-kafe mahal. Kenyataan
bahwa liburan itu dinikmati untuk diri sendiri dahulu, bukan liburan untuk
mengambil foto sebanyak mungkin untuk dipamerkan. |Zulkifli Safri|
Komentar
Posting Komentar